Survei Terbaru: Manuver China Jadi Ancaman Bagi Negara ASEAN
JAKARTA -- Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) bersama Litbang Kompas merilis hasil survei terbaru tentang persepsi masyarakat menyangkut kedaulatan negara. Isu perselisihan antarnegara di Laut China Selatan, paling banyak dipersepsikan dengan kedaulatan wilayah. Ada 30,5 persen responden menjawab batas maritim/negara/laut merupakan sumber konflik. Disusul oleh faktor ekonomi yakni sumber daya alam sebanyak 29,7 persen. Wilayah strategis menempati urutan ketiga dengan 21,8 persen dari jumlah responden.
Peneliti Litbang Kompas, Dimas Okto Danamasi menjelaskan, ancaman dari luar bagi kedaulatan wilayah Indonesia di sekitar Laut China Selatan dipicu oleh perebutan penguasaan wilayah maritim mendapatkan jawaban 37,5 persen dari responden. Di sisi lain, sebanyak 22 persen responden menyatakan tak ada ancaman dari luar. Selanjutnya pencurian sumber daya alam merupakan faktor pemicu ketiga dengan 17,2 persen responden.
Dimas juga memaparkan, kehadiran kapal China di Laut China Selatan dianggap menjadi ancaman bagi negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Sebanyak 78,9 persen responden menyebut manuver China di Laut China Selatan mengancam negara-negara ASEAN. Mayoritas yang mendukung persepsi itu disampaikan oleh Gen Y sebanyak 34 persen, Gen X (31,9 persen), Baby Boomer (22,3 persen), dan Gen Z (11,6 persen).
"Berdasarkan usia, Gen Z (17-26 tahun), Gen Y (27-42 tahun), Gen X (43-58 tahun), dan Baby Boomer (> 58 tahun)," kata Dimas dalam webinar bertema 'Menjaga Kedaulatan dan mencari kawan di Laut China Selatan' di Jakarta, belum lama ini.
Sedangkan, 73,1 persen responden menyatakan kedaulatan Indonesia juga terancam oleh China di kawasan tersebut. Dimas menyebut, fenomena itu didukung oleh jawaban Gen X sebanyak 40,9 persen responden, Baby Boomer (22,6 persen), Gen Y (20,8 persen), dan Gen Z (15,7 persen).
Sebagian responden juga menilai ASEAN sebagai mitra yang sesuai untuk memperkuat wilayah Indonesia di Laut China Selatan. "Dan Malaysia adalah negara ASEAN yang dipilih mayoritas responden sebanyak 49,5 persen, disusul Singapura 15,8 persen, dan Filipina 12,7 persen," ujar Dimas.
Dalam kaitan itu, Indonesia bisa melakukan sejumlah langkah kerja sama dengan ASEAN. Di antaranya, membuat aliansi pertahanan (47 persen responden), kerja sama penelitian dan teknologi (16,4 persen), pendidikan untuk perwira TNI (16,2 persen), hingga pengembangan industri pertahanan Indonesia (14,5 persen), serta latihan bersama (12,5 persen).
Dimas melanjutkan, setelah ASEAN, negara yang dinilai cocok sebagai mitra Indonesia adalah Amerika Serikat (AS) sebanyak 16,7 persen responden, diikuti China (14,3 persen) dan Rusia (8,4 persen). Kemudian, ada Jepang (3,9 persen), Uni Eropa (3,4 persen), Korea Selatan (1,6 persen), dan Israel (0,2 persen).
"Sebanyak 8,1 persen responden menjawab tidak tahu/tidak menjawab. Bentuk kerja sama yang bisa dilakukan Indonesia dengan AS di antaranya pengembangan industri pertahanan Indonesia sebanyak 23,6 persen responden, pembelian senjata (22,4 persen), membuat aliansi pertahanan (21,6 persen), dan latihan bersama (20,8 persen)," ucap Dimas.
Adapun dengan China, kata Dimas, Indonesia juga bisa menjalin kerja sama untuk memperkuat wilayah dengan berbagai cara. Di antaranya, meningkatkan perekonomian sebanyak 33 persen, membuat aliansi pertahanan (31,8 persen), pengembangan industri pertahanan Indonesia (13,1 persen), pendidikan untuk perwira TNI (11,8 persen), dan pembelian senjata (10 persen).