Keppres yang Diteken Jokowi Hapus Nama Soeharto, Jimly: Sekarang Terjadi De-Soehartoisasi
JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Jimly Asshiddiqie merasa ia kurang tepat jika ditanya tentang masalah sejarah Indonesia. Meski begitu, ia menanggapi jika kontroversi Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada 24 Februari 2022, sebagai upaya menghilangkan peran Jenderal Soeharto dari sejarah.
"Kenapa tidak tanya sejarawan, seperti Taufik Abdullah, Anhar Gonggong, atau Azyumardi Azra? Kalau di masa Orba terjadi gelombang de-Soekarnoisasi tiga dasawarsa, maka di zaman sekarang sedang terjadi de-Soehartoisasi juga sudah lebih dari dua dasawarsa," kata Jimly ketika dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (3/3/2022).
Menurut dia, sistem politik dan kekuasaan di Indonesia masih belum bisa memenuhi tuntutan zaman. Sehingga pihak penguasa bisa dengan mudah menghilangkan peran seseorang jika dianggap berseberangan secara politik. "Begitulah politik yang kulturnya masih feodal dan pelembagaan sistem politik belum maju sesuai tuntutan peradaban modern," ujar Jimly.
Keppres yang menetapkan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara cuma menyebut empat tokoh yang berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
Dalam Keppres yang diteken Jokowi di Jakarta pada 24 Februari 2022, hanya nama Sultan Hamengku Buwono IX, Jenderal Soedirman, serta Sukarno dan M Hatta yang disebut ikut berperan mencetuskan serangan yang meninggalkan luka besar bagi militer Belanda tersebut. Peran Presiden ke-2 RI benar-benar dinihilkan.
"Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya, merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia di dunia internasional serta telah berhasil menyatukan kembali kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia," demikian bunyi Keppres Nomor 2 Tahun 2022.
Anehnya, Jokowi memasukkan Sukarno dan Hatta sebagai penggerak dan pihak yang menyetujui Serangan Umum 1 Maret 1949. Padahal, saat itu yang berkuasa adalah Syafruddin Prawiranegara melalui Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pembentukan PDRI dilakukan setelah Agresi Militer 2 pada 19 Desember 1948, Belanda dengan mudah menguasai Yogyakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia. Setelah itu, Sukarno-Hatta, termasuk Sutan Sjahrir menjadi tawanan Belanda, hingga Dwi Tunggal diasingkan ke Bangka saat terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949.