Dosen Paramadina: Luhut Dibiarkan Manuver, Tanda Jokowi Dukung Pemilu 2024 Ditunda
JAKARTA -- Managing Director of Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Ahmad Khoirul Umam mengkritik Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang mempertanyakan mengapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus turun pada 2024. Menurut dia, Pandangan Luhut itu merepresentasikan pola pikir dan paradigma politiknya yang tumbuh dan berkembang di era pemerintahan Orde Baru.
"Sehingga tampak betul keinginannya untuk mengembalikan arsitektur politik Orde Baru. Luhut seperti mengenakan 'kacamata kuda', asal terabas saja, termasuk tembok besar konstitusi pun ingin ia robohkan untuk mewujudkan kepentingan ekonomi-politiknya," kata Umam di Jakarta, Jumat (18/3/2022).
Uniknya, sambung dia, berbagai sikap politik Luhut ini seolah didiamkan oleh Presiden Jokowi. "Itulah yang membuat rakyat bertanya, mungkin saja Presiden mau memperpanjang masa pemerintahannya dengan menunda pemilu, karena ide-ide yang berkembang kuat di lingkaran Istana Kepresidenan itu, seolah didiamkan oleh presiden. Seolah Presiden merestuinya," ujar Umam.
Karena itu, ia mengapresiasi sikap tegas PDIP yang menolak wacana penundaan Pemilu 2022. Di sisi lain, kata dia, PDIP harus mengevaluasi total peran Luhut di pemerintahan. Hal itu lantaran Luhut mengurusi masalah yang merupakan tanggung jawab Menko Polhukam Mahfud MD.
"Bagaimana seorang Menko Kemaritiman dan Investasi seolah dibiarkan saja mengambil peran Menko Polhukam? PDIP sebagai pemilik saham politik utama di pemerintahan harus memastikan bahwa anasir-anasir jahat di sekitar Presiden bisa dibersihkan. Jika tidak, maka PDIP akan kehilangan kontrol dan kendali atas 'petugas partai' yang ia percaya selama ini untuk menjalankan amanah kepemimpinan nasional," kata Umam.
Dia menyebut, indikasi perpecahan internal koalisi pemerintahan tampak semakin jelas di setengah akhir periode kedua pemerintahan Jokowi. Di satu sisi, menurut Umam, ada beberapa partai yang memaksakan idenya untuk menabrak konstitusi dan didiamkan Presiden Jokowi. Di sisi lain, ada partai pendukung utama yang menolak tegas gagasan tersebut.
"Uniknya, sebagaimana perilakunya dalam kontroversi UU KPK dan UU Cipta Kerja, lagi-lagi sikap Presiden Jokowi cenderung mencari aman dan menyelamatkan muka sendiri (face-saving strategy), dengan mengeluarkan statemen-statemen bersayap yang seolah sedang memainkan strategi testing the water. Artinya, jika dukungan politik terkonsolidasi maka operasi politik itu akan dieksekusi, namun jika tidak makan akan disudahi dengan alasan justifikasi yang seringkali sumir," ujar Umam.
Sehingga, momentum perpecahan pandangan partai koalisi tentang wacana penundaan Pemilu 2024 bisa menjadi indikator awal bagi proses faksionalisme internal koalisi. Kondisi itu juga sekaligus awal pudarnya pamor kekuatan PDIP sebagai sponsor utama koalisi pemerintahan.
Jika PDIP tidak mampu mengonsolidasikan dan mendisiplinkan kembali partai koalisi, kata Umam, momentum wacana tunda Pemilu 2024 akan menjadi awal terdiaspora dan liarnya perilaku politik partai pendukung pemerintah. Hal itu sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
"Jika kondisi ini berlanjut, hingga membuat loyalitas menteri menjadi goyah, di mana kesetiaan mereka tidak lagi kepada Presiden namun kepada partai politik maisng-masing, maka Presiden akan segera bertransformasi menjadi pemimpin yang kesepian (the lonely leader). Ini yang harus diantisipasi Presiden Jokowi dan PDIP sebagai sponsor utama koalisi pemerintahan saat ini," ucap Umam.
Jika Presiden Jokowi bersikap diam atau mendiamkan proses politik ini terus bergulir, kata Umam, patut diduga RI 1 mendukung operasi politik yang dilakukan Luhut. Agar kontroversi tidak berlanjut, Dia pun mendesak, Jokowi bersikap tegas apakah menyetujui usulan bawahannya atau tidak.
"Cukup menyampaikan, 'Saya minta sudahi wacana penundaan Pemilu ini. Pemilu tetap akak dijalankan pada 14 Feb 2024 mendatang, sesuai keputusan pemerintah, DPR dan KPU!'," kata dosen Universitas Paramadina tersebut..