Home > Mancanegara

Upaya tidak Manusiawi Rezim Korut Bekukan Jenazah Prajuritnya di Rusia

Rezim Korut menunjukkan ketidakhormatan total bahkan terhadap tentaranya sendiri yang gugur dengan menolak memulangkan mereka.
Prajurit Korea Utara berperang di Kursk membela Rusia melawan Ukraina. Sumber: Yonhap
Prajurit Korea Utara berperang di Kursk membela Rusia melawan Ukraina. Sumber: Yonhap

Oleh Moon Seong-mook*

Saat perang Rusia-Ukraina yang dimulai oleh invasi ilegal Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 memasuki tahun keempat, komunitas internasional dikejutkan oleh laporan yang menyebutkan bahwa rezim Korea Utara (Korut) menolak memulangkan jenazah tentaranya yang secara ilegal dikerahkan dan tewas di medan perang di Kursk. Alih-alih, mereka berusaha mengawetkannya dengan teknik kontroversial yang dikenal sebagai "promession"—sejenis proses pembekuan dan pengeringan.

Meskipun catatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) rezim Kim Jong-un sudah lama dikenal luas, penolakan untuk membawa pulang jenazah tentaranya dan pendekatan aneh terhadap pengelolaan sisa-sisa mereka semakin menegaskan kekejaman dan pengabaian mereka terhadap martabat manusia. Secara historis, bagaimana sebuah negara menangani jenazah tentaranya yang gugur memiliki dampak besar terhadap moral militer dan mencerminkan martabat nasional.

Memberikan penghormatan dan memulangkan mereka yang telah berkorban demi negaranya adalah bagian penting dalam mempertahankan keberanian dan semangat pengorbanan di kalangan prajurit yang masih hidup. Amerika Serikat (AS), sebagai kekuatan utama dunia, terus berupaya menemukan dan memulangkan jenazah tentaranya bahkan dari wilayah paling terpencil di dunia. Sebagai contoh, pada 1990-an, AS bernegosiasi dengan Korut untuk menggali dan memulangkan jenazah tentara Amerika dari Perang Korea, menunjukkan komitmennya dalam menghormati para pahlawan bangsa.

Demikian pula, Korea Selatan (Korsel) memiliki lembaga khusus untuk mencari dan memulangkan jenazah anggota militernya yang gugur, serta terus memulangkan jenazah tentara China yang ditemukan ke tanah air mereka. Hal itu mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan rasa hormat terhadap martabat nasional.

Sebaliknya, rezim Korut menunjukkan ketidakhormatan total bahkan terhadap tentaranya sendiri yang gugur dengan menolak memulangkan mereka, dan justru mencoba membekukan dan mengeringkan jenazah tersebut, suatu tindakan yang belum pernah terjadi dan secara moral sangat tercela. Ini menunjukkan bahwa rezim tersebut lebih mengutamakan keamanan politiknya sendiri ketimbang nilai-nilai kemanusiaan dasar.

Upaya menghapus bukti keterlibatan militer

Tindakan tidak manusiawi ini tampaknya merupakan bagian dari upaya menyesatkan untuk menutupi keterlibatan ilegalnya. Invasi Rusia ke Ukraina merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional. Menyebutnya sebagai "operasi militer khusus" tidak menyembunyikan fakta bahwa agresi tersebut telah merenggut banyak nyawa.

Sebagian besar negara, kecuali beberapa rezim otoriter seperti Korut dan Belarusia, mengutuk invasi ini dan turut menerapkan sanksi terhadap Rusia. Membantu negara tersebut dalam perang ilegal tersebut sama saja dengan melanggar hukum internasional.

Meski begitu, Korut telah memasok amunisi, rudal, dan perlengkapan militer lainnya. Setelah mempererat hubungan dengan Vladimir Putin dalam pertemuan puncak di Vostochny pada September 2023, Kim Jong-un meningkatkan dukungannya dengan mengirim sekitar 12 ribu tentara Korut ke Kursk, wilayah Rusia yang diduduki pasukan Ukraina. Dilaporkan, sekitar 4.000 tentara Korut telah tewas.

× Image