Pakar Sebut Jadi Intel Harus Bisa Tahan Diri tidak Terkenal
JAKARTA -- Siapa saja bisa menjadi agen intelijen di Indonesia. Asalkan, memiliki bakat. Hal itu karena bakal merupakan syarat utama seseorang bisa menjadi ahli intelijen.
Pemerhati intelijen Susaningtyas Kertopati Nefo Handayani mengatakan, dalam penentuan rektrutmen pegawai di bidang intelijen, penting sekali agar memperhatikan bakat seseorang. Hal itu lantaran kegiatan intelijen itu bisa dilakukan semua orang, asalkan punya bakal.
"Seseorang sekolah setinggi apapun kalau tidak punya bakat, tidak bisa menghayati ketika menjadi seorang intel," ucap Susaningtyas dalam webinar ISDS bertema "Ngeri Gak Sih...??? Perempuan dan Studi Intelijen di Jakarta, Kamis (18/4/2024).
Dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) dan Universitas Pertahanan (Unhan) ini pun menganggap, sebenarnya gampang, misalnya ketika Badan Intelijen Negara (BIN) merekrut pegawai. Dari asesmen perekrutan, kata Susaningtyas, calon agen bisa dideteksi dengan mudah apakah orang itu memang memiliki bakat intelijen atau tidak. Sayangnya, proses rekrutmen tidak sepenuhnya bisa dilakukan oleh BIN sendiri, misalnya lantaran juga melibatkan Badan Kepegawaian Nasional (BKN).
"Kalau rekrutmen intel gampang, kita kasih bunga mawar. Kalau jawabannya bunga berwarna merah, tangkai hijau, meski IQ tinggi, jangan terima," ucap Susaningtyas di acara yang dimoderatori co-founder ISDS Edna Caroline ini.
Berbeda jika calon pegawai itu bisa menjawab secara detail dan fokus terkait bunga mawar. "Kalau ia lihat mawar di dalamnya ada serbuk, ada warna kuning, hitam, ada lain-lain, rekrut," kata Susaningtyas yang merupakan Sekretaris Panja Pembahasan RUU Intelijen.
Menurut Susaningtyas, dunia intelijen sebenarnya juga memiliki masa depan cerah. Pun ada peluang karier terbuka lebar bagi siapa pun yang tertarik dengan dunia intelijen. Namun, lagi-lagi proses rekrutmen tidak gampang. Dia mencontohkan, lulusan STIN atau Unhan juga tidak bisa langsung menjadi pegawai di BIN atau Kementerian Pertahanan yang bergelut di dunia intelijen.
"Tidak bisa direkrut langsung. Itu orang harus memiliki keahlian diambil dengan tes khusus. Pun juga harus memiliki penataan dirinya ketika menjadi perwira intelijen bisa menahan diri agar orang lain tidak tahu," kata Susaningtyas.
Dia merasa geram jika ada perwira atau agen intelijen malah menunjukkan diri bekerja di BIN. Bahkan ada yang sampai mengaku sebagai pegawai intelijen di warung demi mendapatkan pelayanan istimewa atau bisa beli secara gratis. "Jangan dagang diri seperti itu. Saya banyak jumpai orang tak bisa nahan diri, ngaku orangnya intel, malah bangga. Atur mental, jadi intelijen jangan ingin terkenal," ucap Susaningtyas.
Dia juga mengakui, dulunya dunia intelijen terkait erat dengan pekerjaan laki-laki. Susaningtyas pernah disentil seorang jenderal ketika membuat disertasi tentang intelijen, lantaran dianggap melakukan pekerjaan tidak umum. Faktanya, saat ini sudah banyak perempuan menjadi pegawai intelijen.
"Perempuan kok mengambil intelijen, itu bersifat maskulin lho? Padahal tidak? Buktinya di BIN banyak perwira intelijen yang perempuan," kata Susaningtyas yang sempat meneliti tentang cara kerja intelijen di Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri.
Sementara itu, dosen pascasarjana Unhan RI, Editha Praditya Duarte menilai, perempuan juga bisa berkiprah di dunia intelijen. Baik itu intelijen pertahanan, kepolisian, kejaksaan, hingga dunia bisnis. Editha menyebut, dunia intelijen itu ibarat dua sisi mata uang yang sebenarnya tujuannya untuk kepentingan Indonesia. "Dan perempuan itu adalah salah satu pilarnya dunia intelijen," katanya.
Editha menambahkan, tujuh bulan lagi, RI memiliki pemerintahan baru. Dia berharap, studi tentang intelijen di Indonesia bisa lebih berkembang lagi bukan sekadar diskursus, melainkan mampu menggerakkan kekuatan Indonesia di kancah global.
Editha menganggap, ada empat kekuataan intelijen yang bisa digerakkan pemerintah. Keempatnya adalah kekuatan domestik, digital, diaspora internasional, dan sisi akademisi. "Empat ini jika bisa bersinergi untuk kepentingan bangsa dan negara, ini akan amazing, kita punya jaringan keindonesiaan yang membawa kepentingan di dalam dan luar negeri sangat kuat," ujar Editha.
Sinergi swasta dan negara merupakan bagian dari pentahelix pertahanan dan intelijen Indonesia: intelijen cyber, intelijen bencana, intelijen bisnis dan keuangan, adalah fokus esensial pengembangan pendekatan teritorial dan human intelligence (humint) Indonesia. The human is the controller, the creator, the person behind the technology.
Sehingga humint adalah kunci paling esensial. "Jangan yang terjadi sebaliknya, manusia didikte teknologi dan menerima informasi dari sisi digital, tanpa kemampuan cek-ricek dalam menerima ledakan arus informasi intelijen," kata Editha.
Dia pun membagikan hasil penelitian disertasinya saat mengambil program doktoral di Unhan tentang intelijen di RI. Editha mengaku, mewawancarai sejumlah tokoh intelijen top dalam negeri, di antaranya AM Hendropriyono, Marciano Norman, Sutiyoso, hingga Zacky Anwar Makarim. Mereka semua adalah eks ketua Badan Intelijen Negara (BIN) hingga Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI, hingga user di Kementerian Pertahanan.
Editha merasa beruntung bisa mendapatkan akses wawancara langsung dengan pelaku intelijen senior di RI. Pasalnya, ia bisa memotret pemikiran pimpinan senior intelijen dari masa ke masa yang dituangkan menjadi penelitian. Alhasil, penelitiannya menghasilkan temuan empat kekuatan territorial intelijen dengan menjalankan fungsi humint khas Indonesia.
"Waktu wawancara bisa sampai enam jam. Beliau lepas begitu saja ketika wawancara dan mempercayakan kepada peneliti mana yang diolah untuk menjadi bagian data disertasi dan mana data yang off the record," kata Editha yang mengangkat disertasi bertema 'Kebijakan dan Manajemen Intelijen Pertahanan Negara Pasca Reformasi: Human Intelligence (Humint) Indonesia 2002-2022'.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Diandra Megaputri Mengko mengaku gusar karena selama ini, informasi tentang intelijen RI lebih banyak ditulis penulis luar negeri. Dia menyebut, baru-baru ini saja ada banyak penulis dalam negeri yang membahas kajian intelijen, khususnya dari kalangan perempuan, termasuk Susaningtyas dan Editha.
Atas alasan itulah, Diandra yang sedang mengambil doktor di Singapura semangat untuk mengkaji dunia intelijen agar semakin berkembang dari sudut pandang orang Indonesia sendiri. Ada tiga faktor yang mendorongnya untuk tergerak melakukan penelitian tentang intelijen agar semakin banyak buku akademis yang lahir dari tangan anak bangsa.
"Pertama, ada perasaan tidak terima, buku ditulis oleh orang-orang bukan Indonesia. Saya terpikir ada akademisi yang perlu terlibat di sini. Alasan kedua mendalami studi intelijen, ini studi cukup baru, ilmunya ada sudah lama sekali, tapi memang akademisi, studi ini berkembang 1940 sampai hari ini, belum panjang, 80 tahun saja di Indonesia," kata Diandra.
Dia melanjutkan, peluang bagi berkembangnya studi intelijen sangat terbuka bagi semua pihak, termasuk perempuan. Diandra mendapati, kaum perempuan masih sangat minim yang tertarik dengan kajian intelijen, termasuk bidang pertahanan dan keamanan. "Sebisa mungkin teman-teman saling membantu dan mendukung karena sebenarnya tujuannya adalah mendorong aktor keamanan sebagai tujuan praktisnya dan kedua mendorong diskursus akademik lebih lanjut lagi," kata Diandra.