Korsel Siap Abaikan Indonesia Terkait Pengembangan Jet KF-21 Boramae
SEOUL -- Menteri Administrasi Program Akuisisi Pertahanan (DAPA) Mayjen Seok Jong-gun, mengatakan lembaganya akan "memeriksa kembali apakah akan bekerja sama dalam pengembangan bersama" jet tempur multiperan canggih KF-21 dengan Indonesia, jika tuduhan bahwa insinyur Indonesia mencuri teknologi penting terbukti benar. Dua insinyur Indonesia ditangkap pihak berwenang lantaran dituduh mencuri data informasi terkait jet KF-21 Boramae.
"Teknologi yang saat ini diberikan kepada Indonesia masih pada tingkat dasar, dan teknologi sebenarnya akan ditransfer setelah pengembangan KF-21 selesai pada tahun 2026," kata Seok Jong-gun saat wawancara dengan JoongAng Ilbo di Kompleks Pemerintahan Gwacheon, Gyeonggi, Korea Selatan dikutip Jumat (14/6/2024).
Hal itu menunjukkan bahwa Korsel mempunyai hak untuk memutuskan transfer teknologi terkait KF-21. Tergantung pada situasinya, Korsel dapat terus mengembangkan pesawat tempurnya sendiri tanpa Indonesia.
Seok merayakan hari ke-100 masa jabatannya sebagai menteri DAPA pada 29 Mei 2024. Tepat sebelum pelantikannya pada 19 Februari 2024, kabar kebocoran teknologi yang dilakukan oleh para insinyur Indonesia muncul. Pada saat bersamaan, pemerintah Indonesia memberi tahu Korsel bahwa mereka tidak mampu membayar kontribusi penuh sebesar 1,6 triliun won atau sekitar Rp 18,9 triliun yang telah dijanjikan untuk pengembangan bersama KF-21.
Oleh karena itu, DAPA memutuskan untuk mengurangi cakupan transfer teknologi sekaligus menyesuaikan kontribusi Indonesia menjadi 600 miliar won atau sekitar Rp 7 triliun.
Kebocoran informasi yang dilakukan para insinyur Indonesia mengenai KF-21 pertama kali dilaporkan pada 17 Januari 2024. Kini penyelidikan telah dialihkan ke polisi setelah penyelidikan internal oleh DAPA selesai dilakukan.
Dalam wawancara media pertamanya sejak menjabat, Seok mengatakan bahwa DAPA akan "membahas teknologi mana yang akan ditransfer pada masa depan sambil melihat seberapa baik Indonesia membayar bagiannya." Hal ini juga dapat diartikan sebagai kebijakan "pembayaran dulu, transfer (teknologi) belakangan".