Letjen (Purn) J Suryo Prabowo Luncurkan Buku Tentang Timor Timur
Oleh Letjen TNI (Purn) Johannes Suryo Prabowo
Saya mengabdi menjadi tentara selama 36 tahun ditambah 4 tahun mengikuti pendidikan tentara di Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) Magelang yang sekarang disebut Akademi Militer (Akmil). Dalam kurun waktu tersebut, 28 tahun saya berdinas sebagai prajurit ABRI yang kala itu terdiri dari prajurit TNI dan Polri (Kepolisian Republik Indonesia), dan selanjutnya sejak tahun 2004 menjadi prajurit TNI.
Sebagai taruna Akabri dan prajurit ABRI saya merasa beruntung karena banyak dipercaya negara untuk terlibat di penugasan operasi militer yang beragam, baik di dalam maupun di luar negeri. Penugasan di dalam negeri yang paling berkesan adalah melaksanakan berbagai operasi di Timor Timur yang sejak tahun 1976 merupakan Provinsi ke-27 Indonesia.
Penugasan di Timor Timur sebagai prajurit Kopassus, sangat berkesan karena merupakan penugasan militer yang sering dan sangat beragam; mulai dari operasi intelijen, operasi tempur, operasi teritorial, operasi pengamanan, operasi bakti sampai dengan tugas kekaryaan. Dari jabatan komandan peleton sebagai ujung tombak pelaksanaan operasi sampai jabatan wakil gubernur.
Tugas militer terakhir di Timor Timur yang dipercayakan kepada saya adalah memimpin operasi pengamanan Presiden Megawati ketika menghadiri upacara Kemerdekaan Timor Timur menjadi Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) di Tasi Tolu, Dili tanggal 20 Mei 2002.
Banyak pengalaman pelaksanaan tugas yang berkesan. Buku ini akan berkisah hal-hal yang pernah langsung saya alami periode tahun 1997-1999, ataupun yang saya ketahui melalui beberapa laporan yang saya terima.
Sebagai pengantar perlu disampaikan bahwa pada tahun-tahun tersebut saya ditugasi pada posisi atas, yang hams mengetahui segala sesuatu peristiwa yang terjadi di Timor Timur, yaitu sebagai Kepala Staf Korem (Kasrem) 164/ Wira Dharma (WD), Sekretaris Pribadi (Sespri) Kasum (Kepala Staf Umum) ABRI merangkap Kasrem 164/WD, Wakil Komandan Korem (Wadanrem) 164/WD, Wakil Gubernur Provinsi Timor Timur (merangkap Wadanrem 164/WD) dan 'terakhir' menjadi Wakil Komandan Satuan Tugas Indonesia Task Force (ITFET) menjelang Timor Timur diserahkan kepada perwakilan PBB di Timor Timur.
Pada tahun 1997-1998, situasi dan kondisi politik serta keamanan di Indonesia banyak diwarnai dengan demonstrasi yang dimotori mahasiswa untuk menuntut reformasi. Melalui reformasi, mahasiswa berharap praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan pusat, dapat berakhir. Dua bulan setelah Pemilu 1997 yang diwarnai banyak ketidakpuasan rakyat, pada bulan Juli 1997 hampir seluruh negara di Asia Timur dilanda krisis keuangan yang berdampak parah bagi Indonesia. Ini yang kemudian dikenal sebagai krisis moneter.
Saat itu nilai rupiah terhadap mata uang asing menurun drastis dari rata-rata Rp 2.500-an per dolar AS (Juni 1997) menjadi Rp 13.500-an per dolar AS (Januari 1998). Hal ini membuat utang luar negeri Indonesia semakin besar dan banyak perusahaan gulung tikar. Ironisnya, ditengah carut-marutnya perekonomian Indonesia yang menyebabkan merosotnya kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto, pada tanggal 11 Maret 1998 MPR melantik Soeharto menjadi Presiden RI untuk ketujuh kalinya, didampingi BJ Habibie sebagai wakil presiden.
Untuk memudahkan mengikuti kisah yang terdapat dalam buku ini disampaikan timeline sederhana tentang pokok-pokok peristiwa yang terjadi dalam proses lepasnya Timor Timur menjadi negara merdeka sebagai berikut:
1. Menyusul kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan demonstran/mahasiswa di Istana Merdeka, Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden RI pada tanggal 21 Mei
1998. Jabatan itu kemudian diganti oleh BJ Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
2. Pada tanggal 27 Januari 1999 Presiden BJ Habibie meminta Sekjen PBB Kofi Annan untuk menyelenggarakan referendum bagi wilayah Timor Timur. Referendum ini akan memberi opsi kepada masyarakat wilayah itu untuk memilih: mendapatkan otonomi yang lebih besar dan luas dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau merdeka sebagai sebuah negara berdaulat. Selanjutnya, PBB menindaklanjuti permintaan BJ Habibie tersebut dengan melakukan serangkaian pembicaraan dengan Pemerintah Portugal sebagai otoritas kolonial sebelumnya, atas Timor Timur.
3. Pada tanggal 5 Mei 1999 dicapai kata sepakat antara Indonesia dan Portugal untuk membuat perjanjian referendum di Timor Timur. Perjanjian ini dikenal sebagai New York Agreement yang diikuti dengan pembentukan United Nations Mission in East Timar (Unamet) untuk mengawal kesepakatan Indonesia dan Portugal dalam proses menuju referendum Timor Timur.
4. Ditengah maraknya penolakan masyarakat pro-otono*mi *NK*RI terhadap penyelenggaraan referendum dan kehadiran UNAMET, referendum di Timar Timur tetap diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999, dan hasilnya diumumkan tanggal 4 September 1999. Hasilnya, 21,5 persen penduduk memilih tawaran otonomi khusus, dan selebihnya 78,5 persen memilih merdeka.
5. Hasil referendum dimana mayoritas penduduk Timar Timur memilih merdeka, membuat kelompok prootonomi marah dan melakukan tindakan anarkis, berupa pembakaran dan penganiayaan pada penduduk yang bukan kelompoknya. Timar Timur chaos, dan arus pengungsi menuju Nusa Tenggara Timur (NTT) semakin deras. Menyikapi kondisi tersebut Pemerintah Indonesia menetapkan keadaan Darurat Militer di Timor Timur tanggal 7-23 September 1999.
6. Tanggal 20 September 1999 Gelombang pertama International Force for East Timar (Interfet) pasukan perdamaian PBB mendarat di Bandara Dili.
7. Tanggal23September-3o Oktober 1999 Panglima ABRI membentuk satuan ITFET (Indonesia Task Force in East Timor).
8. Status Timar Timur bukan lagi wilayah NKRI ditetapkan oleh MPR pada tanggal 19 Oktober 1999 dan tanggal 20 Oktober 1999 MPR melantik Abdurahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden RI.
9. Tanggal 25 Oktober 1999 Dewan Keamanan PBB membentuk UNTAET
yang dipimpin oleh Sergio Viera de Mello.
10. Tanggal 30 Oktober 1999 seluruh personel ABRI dan perwakilan Pemerintah RI telah menyerahkan Timor Timur kepada UNTAET dan meninggalkan Timor Timur
Bagaimana pun juga karena adanya berbagai keterbatasan, kisah yang disampaikan dalam buku ini tentu tidak sepenuhnya dapat menggambarkan seluruh peristiwa yang sesungguhnya terjadi di Timar Timur saat itu. Meski demikian diharapkan kisah ini dapat menjadi bahan pembelajaran kita semua atas apa yang terjadi, ketika kebijakan politik negara berimplikasi pada keutuhan wilayah NKRI.
Selain itu, pada beberapa kisah karena berbagai pertimbangan dan untuk menjaga privasi yang bersangkutan, penulis tidak dapat mencantumkan nama kesatuan ABRI dan nama pejabatnya. Buku ini masih menggunakan istilah ABRI bukan TNI karena kisah yang disampaikan dan penulisan buku ini, terjadi sebelum berlakunya UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Seperti halnya penerbitan buku-buku saya terdahulu yang melibatkan peran banyak orang, buku ini pun dapat diterbitkan karena adanya bantuan yang luar biasa dari beberapa teman, di antaranya Mayjen TNI Farid Makruf, Pangdam V/Brawijaya yang setia membantu penerbitan buku saya sejak beliau masih berpangkat Letnan Kolonel pada tahun 2011. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Saya juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Jenderal TNI (Purn) Dudung AR. dan pewawancara dari ISDS (Indonesia Strategic & Defense Studies) Edna Caroline, Dwi Sasongko, dan Erik Purnama Putra, Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono, Jenderal TNI (Purn) Wiranto, Prof Dr Makarim Wibisono, dan Ibu Dewi Fortuna Anwar, yang telah berkenan menjadi narasumber di buku ini.
Ucapan terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya juga disampaikan kepada seluruh rekan-rekan prajurit yang telah bertugas bersama saya sampai hari-hari terakhir ABRI berada di Timor Timur, sebelum merdeka menjadi Timor Leste. Semoga apa yang kita alami di Timor Timur tidak akan terulang di wilayah lainnya di NKRI.
Ucapan terima kasih secara khusus juga disampaikan kepada Panglima TNI periode 2015-2017 Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, dan Pangdam IX/Udayana periode 2017-2018 Mayjen TNI (Purn) Dr Komaruddin Simanjuntak yang telah memugar TMP Baucau, Timor Timur.