Fakta Baru, Takmir Terpilih Bermanuver Ingin Jadikan Masjid Muhammadiyah Milik Umum
JAKARTA -- Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Ma'mun Murod Al-Barbasy turut berkomentar terkait penurunan plang nama Muhammadiyah dan 'Aisyiyah di halaman Masjid Al-Hidayah, Dusun Krajan, Desa Tampo, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur pada Jumat (25/2/2022) sore WIB. Warga yang menolak plang Muhammadiyah malah difasilitasi Forum Pimpinan Kecamatan (Forpimka) Cluring dengan alasan menjaga kondusivitas warga dan kekhusyukan ibadah.
Aparat yang harusnya berdiri di tengah malah membela warga yang berusaha merebut aset Muhammadiyah. Terungkap pula fakta baru bahwa Masjid Al-Hidayah yang selama puluhan tahun dikelola Muhammadiyah berusaha direbut sekelompok warga. (Baca: Tak Cuma Penurunan Plang, Berikut Daftar Ancaman Dakwah Muhammadiyah di Banyuwang)
Ma'mun menjelaskan, berdasarkan penjelasan Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Banyuwangi Masjid Al-Hidayah memang berdiri di atas tanah wakaf Mbah Kyai Bakri, tokoh Muhammadiyah Cluring saat itu. "Sementara penerima wakaf, di dalam surat tertulis Pak Jamil, Pimpinan Ranting Muhammadiyah. Memang di surat wakaf bukan atas nama Muhammadiyah," kata Ma'mun saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (2/3/2022).
Dia menjelaskan, selama ini sepanjang tahun, hingga sebelum pencopotan plang, lahan itu dibangun dan difungsikan sebagai Masjid Muhammadiyah dan pendidikan anak usia dini/taman kanak-kanak 'Aisyiyah Bustanul Athfal (PAUD/TK ABA). Kemudian, masalah muncul ketika ada orang non-Muhammadiyah berusaha mengambil alih kepemilikan lahan.
"Lalu masalah terjadi ketika ada pergantian takmir, terpilih oknum yang non-Muhammadiyah. Awalnya biasa saja tetapi dalam perjalannya ternyata bermanuver hendak menjadikan masjid itu sebagai masjid milik umum dan ingin membersihkan atribut dan papan nama Muhammadiyah," kata Ma'mun.
Kondisi itu membuat terjadi konflik dan berusaha ditengahi aparat setempat. Sayangnya, kata Ma'mun, Camat, Muspika, Polsek, kepala urusan agama (KUA), dan lainnya, ternyata memihak pemotongan 'papan nama Muhammadiyah'. Camat Henri Suhartono mengeklaim, keputusan itu sudah hasil musyawarah bersama demi kerukunan warga.
"Selama 50 tahun, tidak pernah terjadi apa-apa. Warga rukun, toleran, dan damai. Setelah tahun-tahun ini ada takmir baru warga non-Muhammadiyah, akhirnya sesuatu terjadi. Yang membuat gemes adalah aparat negaranya memihak mereka, secara ahistoris," kata Ma'mun.
Sebelumnya, Kepala Desa Tampo, Hasim Ashari menegaskan, kedatangannya bersama warga tidak ada niatan apapun. "Kecuali untuk memelihara ketertiban untuk menjaga ketentraman untuk menjaga kekhusyukan ibadah, dan lain sebagainya," kata Hasim yang didampingi Camat Cluring Henry Suhartono, Kepala KUA Cluring Fathur Rohman, Kasi Trantib dan Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi Sugiyono, dan Babinsa Desa Tampo Serka I Putu Mertha.
Camat Cluring, Henri Suhartono menambahkan, pencopotan plang dilakukan karena sudah menjadi keputusan bersama di tingkat pemerintahan kecamatan. Dia menyinggung, ada undang-undang (UU) yang membuat plang nama itu harus dicopot, pertama masalah tata perizinan pendirian bangunan, dan kedua terkait kegiatan yang tak diinginkan warga sekitar.
"Untuk kondusivitas wilayah maka untuk sementara waktu tidak ada yang menghakimi antara ini dan itu. Sampai menunggu proses hukum lebih lanjut, monggo kalau proses hukum lebih lanjut," ujar Henri dalam video yang diunggah channel Youtube Discovery Banyuwangi.